BAYANG-BAYANG PUDAR
(Cerpen Karya Sri Hastini, S. Pd.)
Hari telah larut, namun seperti biasanya,
Leva tak kuasa memejamkan matanya. Bayang-bayang Fahri terus saja mengusik tidurnya. Ia sadar
bahwa Fahri telah tiada, tapi untuk melupakan kenangannya ternyata tak semudah
membalik telapak tangan. Kejadian itu telah lama berlalu, tapi usaha Leva belum
berhasil, ia belum mampu melupakan kekasihnya yang telah lama pergi ke
sisi-Nya. Ia ingat betul sebelum Fahri pergi jauh, Fahri minta agar Leva
menuliskan puisi untuknya. Leva menuliskan puisi cinta untuk Fahri. Dalam puisi
itu Leva ungkapkan rasa kasihnya yang begitu dalam, meskipun Leva menyadari
bahwa untuk mencintai Fahri butuh banyak pengorbanan. Leva juga menyadari bahwa
Fahri bukan lelaki yang didambakan keluarganya. Leva telah dijodohkan dengan
putra teman ayahnya sejak kecil. Dan Fahri tahu itu semua. Tapi bukan Fahri
jika menyerah begitu saja. Fahri terus
meyakinkan keluarga Leva bahwa ia pantas menjadi pendamping hidup Leva. Fahri
pun telah banyak berkorban untuk bisa mendapatkan restu orang tua Leva. Tapi
apa daya, orang tua leva tetap pada pendiriannya.
“Leva, rasanya aku tak sanggup lagi
menaklukkan orang tuamu,” kata Fahri sedih.
“Kamu nyerah, Fahri?” jawab Leva tak
percaya.
“Maafkan aku, Leva,” kata Fahri
lirih. Ia tak kuasa melihat kesedihan di mata gadis yang begitu ia
kasihi. Fahri tahu, Leva pasti tak
percaya dengan keputusannya. Fahri sudah
memikirkan akibatnya jika ia tetap keukeuh
bersama Leva, Leva pasti dikucilkan keluarganya. Fahri tidak tega jika akhirnya Leva menderita akibat
perbuatannya.
“Leva, aku besok akan pergi jauh,
bisakah kamu mengantarku sampai bandara?”
“Kamu akan ke mana Fahri?”
“Aku akan pergi ke suatu tempat. Aku
telah bergabung sebagai relawan, Lev”
“Untuk berapa lama?”
“Aku belum tahu.”
“Kamu...kamu tega sekali meninggalkanku, Fahri,” ucap Leva
terisak.
“Lev, ini pilihan hidupku, aku
berharap kamu mengerti. Kamu juga tahu
kan, kalau orang tuamu tetap pada pendiriannya?Aku doakan kamu bahagia dengan
pilihan orang tuamu,”jawab Fahri. Fahri berat sekali mengucapkan kalimat
perpisahan itu. Tetapi itu harus ia lakukan karena ia tidak mungkin melawan
kehendak orang tua Leva. Pada akhirnya, dia terpaksa mengalah. Dia tidak tahu,
apakah bisa melupakan kekasihnya. Yang ia rasakan adalah kegagalan dalam
memperjuangkan cintanya.
“Leva, aku tidak ingin melihatmu menangis,
terima saja ini semua sebagai takdir yang terbaik untuk kita,”ujar Fahri
“Aku ingin takdirku bersamamu,
Fahri., bukan pria lain!” 1
“Leva, kita sama-sama tahu bagaimana perasaan kita.
Aku pun berat sekali berpisah denganmu. Kamu pasti tahu itu, tapi aku pun harus
melanjutkan hidupku dan begitu pun sebaliknya. Kita sudah berusaha Leva, tapi
jodoh, hidup, dan mati itu bukan kita yang menentukan. Kamu tahu maksudku kan?”
“Aku tahu Fahri, mungkin kita
memang tidak berjodoh.Dan aku tidak tahu,butuh waktu berapa lama untuk bisa
melupakanmu,”jawab Leva berlinang air mata.
“Leva, aku tidak mungkin bisa
melupakanmu, melupakan kenangan- kenangan kita, kamu akan tetap di hatiku,
sekarang dan untuk selamanya,” kata Fahri sedih. “Leva, tolong tuliskan puisi
untukku sebagai kenang-kenangan terakhir.”Ia pun tak kuasa membendung air
matanya. Ia tahu bahwa itu pertemuan terakhirnya dengan wanita yang
dicintainya. Leva pun menuliskan puisi cintanya untuk Fahri sambil meneteskan
air mata.
“Ini Fahri puisi dariku. Bacalah
di pesawat besok. Besok tunggu aku, Fahri, aku akan mengantarmu. ”
“Terima kasih Leva, aku pulang
dulu, jangan lupa besok jam delapan aku tunggu di bandara, bye leva!” Fahri
meninggalkan Leva yang masih berdiri mematung di taman yang biasa dikunjungi
mereka berdua.
“Bye, Fahri,” ucap Leva lirih.
Leva merasakan bahwa itu adalah pertemuan terakhirnya dengan Fahri.
Waktu terus
merangkak, tak terasa hari tlah berganti. Dan waktu telah menunjukkan pukul
setengah delapan. Mereka telah tiba di bandara. Leva dan Fahri duduk termenung tanpa sepatah
katapun terucap dari bibir mereka.
Mereka hanya saling memandang untuk mengungkapkan perasaan dan kesedihannya.
Tak kuasa air mata mereka menetes.
“Leva,
pulanglah, aku akan berangkat”
“Baiklah Fahri,
selamat jalan, baca puisi dan suratku setelah kamu di pesawat, assalamualaikum!”
Fahripun
berjalan menuju pesawat, sementara Leva terus memandangi Fahri sampai bayangannya tak terlihat. Dengan langkah
gontai Leva meninggalkan bandara. Ia tidak langsung pulang, tapi langkahnya menuju taman yang biasa ia
kunjungi bersama Fahri. Di taman itu, Leva teringat kembali awal pertemuannya
dengan Fahri. Ya, awalnya Leva tak mempunyai perasaan apa pun terhadap Fahri.
Tetapi kebaikan, perhatian, dan kekonyolannya membuat Leva tak berkutik ketika
Fahri menyatakan perasaannya. Apalagi melihat ketaatan pada agamanya membuat
Leva mantap melangkahkan kakinya bersama Fahri.Waktu itu Leva tidak tahu bila
dirinya telah dijodohkan dengan Ardi,
putra teman ayahnya.
Sementara itu,
di dalam pesawat Fahri membuka surat dan puisi yang ditulis Leva. Fahri membaca
puisinya, ia tersentuh sekali sampai meneteskan air mata. Padahal ia tahu, Leva
menulis puisi itu dihadapannya kemarin, dalam waktu sekejab, tapi sangat mewakili perasaan mereka berdua. Surat
yang ditulis Levapun tak mampu membendung air mata Fahri. Fahri membaca surat
Leva. Kata demi kata, ia resapi maknanya.
2
Dear : Fahri
Ass. Wr.wb.
Bila waktu bisa
diputar kembali, aku ingin menjadi bayanganmu, yang setiap saat selalu bersamamu,
tanpa ada rasa takut kehilanganmu. Bila aku tahu bahwa kau hadir dalam hidupku
untuk kemudian pergi… tentu aku akan
pergi dahulu, sebelum kau lihat air mataku.
Fahri…, selamat
tinggal, aku tak tahu, butuh waktu berapa lama untuk bisa melupakanmu. Sampai
saat aku menulis surat ini, perasaanku tetap sama, tak berubah. Aku doakan semoga kamu bahagia di tempat
tujuanmu.Aku tahu kau pergi untuk tujuan yang mulia. Jangan lupa ibadahmu.
Fahri…, tolong
doakan aku, semoga takdirku lebih indah dari apa yang aku bayangkan.
Wassalam.
From
: Leva
Tak terasa sepuluh tahun tlah berlalu.Dan ternyata perjodohan
Leva gagal karena Ardi tahu Leva tidak mencintainya dan kebetulan Ardi di
tugaskan kantornya di Irian Jaya. Di Irian, Ardi bertemu dengan Aveva, teman
sekantor Ardi, yang kemudian
dipersunting menjadi istrinya. Sedangkan Leva masih tetap sendiri. Dia tidak
memikirkan pernikahan. Hari-harinya ia habiskan waktunya dengan bekerja dan
bekerja. Orang tuanya pun telah mengingatkan Leva supaya memikirkan pernikahan,
tapi leva tak mengiyakan saran orang tuanya.
Orang tuanya pun telah menyadari kekeliruannya dulu hingga Leva berpisah
dengan Fahri yang kini tak tahu rimbanya. Sesungguhnya Leva telah berusaha
membuka pintu hatinya untuk pria lain, tapi selalu gagal dan gagal. Ternyata
rasa kasihnya pada Fahri belum seutuhnya hilang, hingga sulit untuk bisa
menerima pria lain dengan segenap jiwa. Teman-teman sekantornya pun sering
menjodohkan, tapi tak satu pun yang berhasil.
“Leva, ada surat di meja kamarmu,
tapi tidak ada alamat pengirimnya,” kata ibu ketika Leva pulang dari kantor.
Leva masuk ke kamarnya. Di ambilnya surat tanpa pengirim itu, kemudian Leva
membacanya. Tangan Leva bergetar.
Untuk : Leva
Assalamualaikum.
Leva,jangan kaget,ini aku, Fahri. Maaf nama pengirimnya sengaja
tidak aku tulis. Leva, aku tidak tahu harus bicara dari mana, yang jelas aku
jauh di sini tapi perasaanku tetap sama seperti dulu. Aku tahu kalau kamu tidak berjodoh dengan
Ardi. Aku tahu informasi itu dari teman kita, Anton, kira-kira dua minggu yang
lalu. Saat aku tahu keadaanmu sekarang, aku tak tahu aku senang atau sedih,
yang kutahu aku masih punya harapan padamu. Sejak saat itu, aku sering melihat
profilmu di face book. Aku minta maaf karena begitu lama tak memberi kabar padamu, aku takut jika mengganggumu dan
aku ingin memberi kejutan untukmu.
Leva, seminggu lagi aku akan
pulang, kamu mau menjemputku di bandara? Aku jadi ingat kenangan sepuluh tahun
yang lalu di bandara. Saat itu aku merasa seperti tak akan bisa bertemu kamu
lagi. 3
Leva, aku tahu sampai saat
ini kamu masih sendiri. Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu terhadapku saat
ini, yang aku tahu, sepuluh tahun bukanlah waktu yang sedikit untuk membuktikan
rasa kasihku padamu, dan juga rasa kasihmu terhadapku. Aku berharap, masih ada
kesempatan kedua bagiku.
Leva…, perasaanku takkan
pernah berubah. Tunggulah aku, kita wujudkan impian kita dulu yang sempat
tertunda. Semoga Allah memudahkan rencana kita.
Wassalam.
Dariku : Fahri
Begitu Leva selesai membaca
surat itu,Leva menangis tersedu, kemudian Leva berteriak memanggil ibunya.
“Ibu…Ibu…!”
“Ada apa, Lev, kok berteriak
kencang begitu?”
“Ini, Bu. Surat dari Fahri!
Seminggu lagi Fahri pulang, Bu, dia minta aku menjemputnya di bandara,” jawab
Reva berbinar-binar. Ibunya baru melihat Reva sebahagia itu sejak sepuluh tahun
belakangan ini. Ibunya tahu bahwa Leva masih mengharapkan Fahri.
“Dari Fahri? Fahri akan kembali?
Terima kasih ya, Allah, Kau kabulkan doaku,” jawab ibu sambil memeluk Leva.
Sejak mendapatkan surat itu, hati
lajang berusia tiga puluh tahun itu pun berbunga-bunga. Ia membayangkan wajah
Fahri dulu dengan segala kekonyolannya. Leva tersenyum sendiri jika mengingatnya. Dan sepuluh tahun ia tak
melihatnya, apakah ia berubah? Leva hanya bisa membayangkan pertemuannya besok. Ya, besok jam dua siang ia akan menjemput
Fahri di Bandara. Ia akan menggunakan baju putih, warna kesukaan Fahri.
Di bandara. Jam dua telah
lewat, Leva gelisah bukan main karena pesawat yang ditumpangi Fahri belum
mendarat. Jam tiga berlalu, jam empat terlewati. Di saat orang-orang sedang
gelisah tiba-tiba terdengar ledakan sangat keras dari landasan pesawat. Tak lama
kemudian suasana bandara berubah
mencekam dan tak lama tangis pun pecah
di mana-mana. Leva mendengar pengumuman bahwa pesawat yang ditumpangi Fahri
gagal mendarat. Leva pun tak sadarkan diri.
“Leva…, bangun, Nak. Ini Ayah
dan Ibu,” kata ibu terisak sambil membangunkan Leva dari pingsannya. Tak lama
kemudian Leva sadar.
“Fahri mana, Bu? Fahri jadi
pulang, kan Bu?” tanya Leva sambil mengguncang-guncangkan tangan ibunya.
“Leva, tabahkan hatimu, Nak,”
“Fahri suruh ke sini, Bu. Leva
kangen sekali ingin bertemu Fahri,”
“Leva, Fahri telah pergi ke
alam baqa,” jawab ibu terisak.
4
“Apa, Bu? Ke alam baqa? Fahri
meninggal?”
“Benar, Leva. Kamu yang tabah
ya, doakan supaya Fahri bahagia di sisi-Nya.”
“Ibu, Fahri belum meninggal,
dia bilang agar Leva menjemputnya di bandara, kok!”
“Leva, Ibu tahu kamu belum
bisa menerima kenyataan ini, tapi ibu tidak mau membohongimu, Nak. Fahri
benar-benar telah meninggal, Lev,” kata Ibu terisak.
Setelah Leva mendengar
kalimat terakhir ibunya, ia baru sadar bahwa Fahri benar-benar telah tiada.
Levapun menangis pilu dalam pelukan ibunya. Ayahnya pun menitikkan air matanya.
Ia tak tega melihat kesedihan anak semata wayangnya itu. Anaknya yang belum
sempat merasakan kebahagian yang baru
saja akan diraih. Tapi apalah daya, jodoh bukanlah manusia yang menentukan. Di
balik peristiwa itu pasti ada hikmahnya. Ia harus bisa membangkitkan semangat
hidup anak gadisnya. Ia tak boleh terlihat lemah.
“Ayah, apakah Fahri telah
dimakamkan? Aku ingin salat jenazah, Yah!”
“Belum dimakamkan, Lev. Mari kita salat
jenazah,” jawab ayah Leva sambil membimbing tangan Leva.
“Ayah,
bolehkan aku mengantar jenazah Fahri?”
tanya Leva dengan mata menerawang sambil berjalan di sisi ayahnya.
“Boleh Leva, nanti ayah akan minta izin pada
keluarga Fahri,” jawab ayah Leva dengan sabar.
“Ayah, bolehkah Leva …e…Leva menyusul Fahri? Leva ingin pergi bersama
Fahri, Yah. Sudah lama sekali Leva
menunggu Fahri !”
“Leva…,Leva…, sadarlah, Nak!” jawab ayahnya
terisak sambil membimbing tangan
anaknya.
“Ayah…itu Fahri melambaikan tangannya padaku,
Yah!” teriak Leva dengan mata nanar.
Dan lorong rumah sakit itu kini sunyi, sepi. Hanya
tampak seorang lelaki tua membimbing putrinya berjalan
menjauh.
Sri Hastini, S.Pd. adalah Guru Bahasa Indonesia di SMP Negeri 9 Purworejo